Kasta dan Strata Sosial di Indonesia: Mengurai Warisan, Realitas, dan Viralitas "Rakyat Jelata"

Strata sosial di Indonesia adalah salah satu topik yang terus relevan, baik dalam diskusi akademik maupun perbincangan sehari-hari. Baru-baru ini, istilah "rakyat jelata" menjadi viral di media sosial, memunculkan perdebatan tentang relevansi kasta atau strata sosial dalam masyarakat modern. Istilah ini mengingatkan kita pada ketimpangan yang masih ada dan warisan hierarki sosial yang mengakar dalam sejarah Indonesia.

Warisan Kasta dan Hierarki Sosial

Indonesia, dengan keragamannya, memiliki berbagai sistem sosial yang diwariskan dari masa lalu. Misalnya, masyarakat Hindu-Bali hingga kini masih mempertahankan sistem kasta yang mencakup Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Sistem ini mengatur struktur masyarakat berdasarkan fungsi dan peran yang diwariskan secara turun-temurun.

Di Jawa, hierarki sosial semasa Kerajaan Mataram juga melahirkan pembagian masyarakat ke dalam golongan bangsawan, priyayi, dan rakyat jelata. Priyayi, sebagai kelas intelektual dan administratif, berada di atas hierarki, sementara rakyat biasa disebut sebagai "wong cilik" atau "rakyat jelata." Istilah ini mencerminkan ketimpangan akses terhadap pendidikan, kekuasaan, dan ekonomi.

Modernisasi dan Strata Sosial Masa Kini

Meskipun sistem kasta formal tidak lagi diterapkan secara luas, warisan hierarki sosial masih terasa. Dalam kehidupan sehari-hari, strata sosial sering kali ditentukan oleh status ekonomi, pekerjaan, dan tingkat pendidikan. Fenomena seperti flexing atau pamer kekayaan di media sosial mempertegas kesenjangan sosial yang masih ada.

Penyebutan “rakyat jelata” dalam konteks viral baru-baru ini, misalnya, memicu diskusi tentang bagaimana masyarakat Indonesia memandang dirinya sendiri. Istilah ini kerap digunakan untuk merendahkan atau menegaskan jarak sosial antara “elite” dan “massa.”

Mengapa Isu Ini Viral?

Viralnya istilah "rakyat jelata" menyoroti sensitivitas masyarakat terhadap hierarki sosial yang masih terasa nyata. Dalam beberapa kasus, istilah ini muncul dari pernyataan tokoh publik atau selebritas yang secara tidak langsung menunjukkan superioritas mereka. Ini memicu respons keras dari warganet, yang merasa istilah tersebut merendahkan martabat kelompok tertentu.

Fenomena ini mencerminkan ketegangan antara aspirasi egaliter yang digariskan dalam Pancasila dan realitas sosial yang menunjukkan bahwa ketimpangan masih menjadi masalah mendasar. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, gini ratio Indonesia masih berada di angka 0,381, menunjukkan distribusi kekayaan yang belum merata.

Upaya Mengatasi Ketimpangan

Diskusi tentang kasta atau strata sosial tak bisa dilepaskan dari upaya mewujudkan kesetaraan. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk:

  1. Memperluas akses pendidikan: Pendidikan yang berkualitas dan inklusif menjadi kunci untuk memutus rantai ketimpangan.
  2. Mengurangi ketimpangan ekonomi: Melalui program seperti bantuan sosial, UMKM, dan pemerataan pembangunan.
  3. Membangun narasi egaliter: Menghapuskan istilah yang diskriminatif seperti “rakyat jelata” dari percakapan publik.

Penutup

Strata sosial adalah kenyataan yang tak bisa dihindari, tetapi kesadaran akan dampaknya dapat menjadi langkah awal untuk perubahan. Viralitas "rakyat jelata" menjadi pengingat bahwa, meskipun istilah ini mungkin berasal dari sejarah, penggunaannya dalam masyarakat modern dapat membawa konsekuensi sosial yang besar. Saatnya Indonesia beranjak dari warisan hierarki menuju masyarakat yang lebih egaliter, di mana setiap individu dihargai bukan karena strata, tetapi karena kemanusiaan mereka.


Artikel ini mengajak pembaca untuk merenungkan kembali hubungan antara sejarah, realitas modern, dan cara kita berinteraksi dalam masyarakat yang terus berubah.

Comments

Popular posts from this blog

Tutorial Cara Menghubungkan Keyboard Musik dengan Komputer

Film Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno Bahasa Indonesia

Membantu Operasi Kaki Kucing