Kembali Menulis Cerita Fantasi
Gwe paling suka dengan cerita fantasi. Di situ Gwe bisa mendapatkan kisah atau gambaran kejadian yang menakjubkan, yang sedikit atau banyak berbeda dengan dunia nyata, sesuatu yang tidak diduga-duga, seringkali melanggar hukum alam atau kenyataan, tapi terlihat/terasa menarik dan menyenangkan. Cerita fantasi itu bisa dalam wujud cerpen, novel, komik, animasi, video game maupun film.
.
Memang orang pada umumnya sudah dikenalkan dengan fantasi sejak kecil. Baik oleh orangtua kita sendiri maupun dari lingkungan atau media, seperti ibu yang menceritakan dongeng sebelum tidur, adanya buku cerita, majalah anak-anak, novel, film, video game, dan lain sebagainya. Isinya bisa cerita tentang hewan yang bisa berbicara, kisah alibaba dan seribu satu malam, dongeng putri Disney, pertarungan antar ras dunia lain, cerita ksatria, dan lain sebagainya.
.
Khayalan, Imajinasi dan Fantasi adalah kata-kata artinya mirip dan hampir susah untuk dibedakan. Kalau mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi 5, kata “fantasi” dapat berarti: daya untuk menciptakan sesuatu dalam angan-angan. Arti lainnya: gambar (bayangan) dalam angan-angan; khayalan.
.
Kalau menurut Gwe sendiri, Fantasi berarti: suatu bentuk, gambaran atau kejadian hasil olah rasa, pikir dan karsa, yang kadang berbeda dengan kejadian nyata dan tidak sesuai dengan hukum alam, baik sedikit maupun keseluruhan. Fantasi bisa saja hanya sesuatu yang ada dalam pikiran, namun apabila dilahirkan, dia bisa berwujud cerita fantasi, novel, komik, animasi, game dan juga film.
.
Berbagai kisah fantasi bertebaran dari zaman kuno sampai zaman now. Di berbagai format media. Banyak kisah fantasi yang Gwe sendiri udah nikmati seperti majalah Bobo, Donal Bebek, novel Narnia, Harry Potter, The Golden Compass; lalu dalam format video games ada serial Final Fantasy dan berbagai game RPG lainnya; berbagai komik Jepang, seperti Doraemon dan berbagai karya Clamp; komik Barat produksi Marvel dan DC Comics, serial TV Kamen Rider, film-film Hollywood, film kungfu Cina, dan masih banyak lagi.
.
Dengan berbagai kenikmatan dan keseruan yang tak ada habisnya itu, yang bisa ditemukan dengan mudah di sekitar kita maupun lewat teknologi internet, terkadang malah muncul kegelisahan dan keprihatinan dalam diri Gwe. Dari sisi eksternal, Gwe melihat Indonesia ini adalah negara yang kaya seni budayanya. Kenapa dongeng, legenda, dan kisah kita tidak mendunia? Padahal banyak kisah fantasi yang menarik. Apa masalahnya? Bahasa? Kemasan yang tidak memenuhi standar internasional? Atau promosinya yang kurang?
Kegelisahan lainnya adalah di sisi internal Gwe sendiri, sebagai penulis ternyata belum fokus membuat cerita fantasi. Memang novel terakhir Gwe “Selestia dan Penjara Teka-teki” bergenre fantasi, dan novel pertama Gwe yaitu “Ikatan Setan: Boneka Pembawa Sial” serta e-book “Ikatan Setan: Banaspati” adalah cerita horor supranatural, yang merupakan salah satu cabang genre fantasi. Namun, tetap saja Gwe merasa ada yang kurang. Karya-karya Gwe itu kurang diterima masyarakat. Memang ada yang membeli atau membaca namun belum banyak, belum masif atau viral. Kenapa seperti itu?
.
Gwe terus menggali dimana akar permasalahannya? Apakah karena tulisan Gwe jelek? Tapi kok bisa terbit? Apakah orang indonesia tidak suka cerita fantasi? Nggak mungkin dong, Harry Potter aja laris manis. Atau apakah karena cerita karya Gwe kurang mengindonesia, sehingga berkesan asing dan kurang diminati pembaca? Atau jangan-jangan Gwe belum konsisten menulis fantasi, sehingga branding Gwe sebagai penulis fantasi belum terbentuk?
.
Bukannya sombong, Gwe udah belasan tahun nulis. Memang jumlah karya maupun waktu nggak selalu bisa dipakai untuk mengukur profesionalisme seseorang. Namun lumrahnya orang yang jam terbangnya tinggi, seharusnya sudah expert, dan rasanya Gwe belum mencapai itu. Jadi mungkin memang masalahnya ada di fokus. Gwe acapkali berpindah genre tulisan. Awal belajar nulis novel, bikin TeenLit yang cerita dan bahasanya cukup ancur. Bahkan mungkin sama sekali nggak menarik ABG pada zaman itu, sehingga hampir semua penerbit menolak. Untung saat itu ada forum internet Pulau Penulis Indosiar. Gwe digembleng oleh suhu-suhu, rekan sesama penulis yang sama-sama belajar, dan juga senior penulis yang sudah menerbitkan buku di penerbit besar seperti Gramedia dan Mizan.
.
Berikutnya, karena ada order kerjaan dari sebuah PH baru di Semarang, Gwe beralih nulis situasi komedi. Lalu karena terpengaruh oleh kesuksesan buku diary komedinya Raditya Dika yang berjudul “Kambing Jantan”, Gwe ganti nulis non-fiksi komedi; Lalu pada 2016, Gwe beli domain dan posting blog, daftar adsense; lalu Gwe pun mulai tertarik musik elektronik dan utak-atik Digital Audio Workstastion (DAW) FL Studio; kemudian bikin-bikin video YouTube. Semua itu ternyata nggak memuaskan hati Gwe dan juga karena hasilnya ternyata hanya sedikit saja.
.
Belakangan ini, setelah dipikir dan dipertimbangan, rasanya udah cukup Gwe bermain-main. Ga bisa lagi bikin karya secara acak alias random. Mulai sekarang, Bismillah, Gwe mau memantapkan diri untuk mulai menulis fantasi lagi. Nggak hanya dalam wujud ceritanya, tapi membahas pemikiran maupun pemahaman, konsep atau apapun tentang fantasi. Mengenai format karya, bisa lintas media, seperti blog, novel, YouTube, InstaGram maupun format media baru di masa depan. Gwe hanya bisa berusaha dan bedoa, sekaligus mengharapkan dukungan pembaca dan Anda semua.
Baru tahu kalo mas Yozar penulis buku. Sukses terus dan tetap semangat menghasilkan karya ya, Mas.
ReplyDeleteAamiin. Makasih mba Farida. Udah lama libur sih, mulai pengin nulis buku lagi. Hyuk hehe
ReplyDelete